menu drop down

Selasa, 20 Desember 2016

Transaksi Ekonomi dalam Islam

 Transaksi Ekonomi dalam Islam 

A. Pengertian Mu’āmalah 
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya. 
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut: 
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil. 
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba. 
3. Tidak boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya). 
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan. 
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi. 
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram. 
Macam-Macam Mu’āmalah 
1. Jual-Beli Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Syarat-Syarat Jual-Beli Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut. 1) Penjual dan pembelinya haruslah: a) Ballig. b) Berakal sehat. c) Atas kehendak sendiri. 
2) Uang dan barangnya haruslah: a) Halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai tersebut. b) Bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros. c) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya. d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli. e) Milik sendiri. 
3) Ijab Qobul Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban) 
B. Khiyār 
a. Pengertian Khiyār 
Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. 
 b. Macam-Macam Khiyār 
a) Khiyār Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. 
b) Khiyār Syarat, adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. 
c) Khiyār Aibi (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin. 
C. Ribā 
1) Pengertian Ribā 
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam.\ Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. 
2) Macam-Macam Ribā 
a) Ribā Faḍli adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. 
b) Ribā Qorḍi, adalah pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. 
c) Ribā Yādi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. 
 d) Ribā Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. 
2. Utang-piutang 
a. Pengertian Utang-piutang 
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya. 
 b. Rukun Utang-piutang 
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu: 1) yang berpiutang dan yang berutang 2) ada harta atau barang 3) Lafadz kesepakatan. 
3. Sewa-menyewa 
a. Pengertian Sewa-menyewa 
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan. 
 b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa 1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat. 2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa. 3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya. 4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya. 5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. 
D. Syirkah 
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. 
a. Rukun dan Syarat Syirkah 
Adapun rukun syirkah secara garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut: 1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). 2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. 3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. 
 b. Macam-Macam Syirkah Syirkah dibagi menjadi beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah mufāwaḍah. 
E. Perbankan 
1. Pengertian Perbankan 
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank. 
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti berikut: 
a. Bank Konvensional Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga. 
b. Bank Islam atau Bank Syari’ah Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. 
F. Asuransi Syari’ah 
1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah 
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung (geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya. 
2. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional Tentu saja prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi. Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu berbentuk barang ataupun jasa. Perbedaan yang lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar